Di ruang pengadilan itu duduk seorang wanita berusia sekitar 70 tahun dan di wajahnya tergambar goresan penderitaan dan kesedihan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Sementara di kursi terdakwa duduk Van der Broek, pria berdarah dingin yang membunuh anak laki- laki dan suaminya. Kekejaman pria itu kembali bermain di benaknya. Beberapa tahun yang lalu Van der Broek datang kerumahnya. Dengan paksa ia mengambil anak laki-lakinya, kemudian menembak dan membakarnya. Beberapa tahun kemudian Van der Broek kembali untuk menculik suaminya. Wanita itu hidup dalam ketidakpastian, apakah suaminya masih hidup atau sudah tewas terbunuh. Dua tahun kemudian penculik itu kembali dan mengajaknya ke tepi sebuah sungai. Di sana ia melihat suaminya diikat, disiksa dan berdiri di tumpukan kayu kering yang sudah disiram bensin. Api yang berkobar pun memisahkan mereka dengan diiringi tangis air mata yang seolah tak mau berhenti. Teriakan suaminya, “Bapa, ampunilah mereka,” masih terngiang di telinganya.
Akhirnya polisi berhasil menangkap Van der Broek. Di pengadilan ia terbukti bersalah dan harus menerima hukuman sesuai dengan keputusan hakim. Sebelum memutuskan hukumannya, hakim bertanya, “Nyonya, menurut Anda apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang yang secara brutal telah menghabisi keluarga anda?“ Wanita Negro yang renta itu perlahan bangkit berdiri kemudian berkata, “Yang Mulia, saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dia dibawa ke pinggir sungai di mana suami saya terbunuh. Saya akan mengumpulkan debunya dan menguburkannya secara terhormat. Yang kedua, Van der Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto ( perumahan orang Negro ) dan melewatkan waktu sehari bersama saya sehingga saya dapat mencurahkan kasih sayang saya kepadanya. Dan yang ketiga, saya ingin Van der Broek tahu bahwa saya telah mengampuninya, dan alasan lainnya karena permintaan terakhir suami saya. Yang Mulia, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya maju ke depan untuk memeluk Van der Broek sebagai bukti bahwa saya benar-benar telah mengampuninya?“ Hakim tak tahu harus berkata apa selain menganggukkan kepalanya tanpa setuju. Kemudian seorang petugas menuntun wanita itu berjalan ke hadapan Van der Broek. Semua orang dalam ruangan itu terharu, termasuk Van der Broek yang jatuh pingsan saat akan dipeluk wanita berhati emas itu. (diambil dari berbagai sumber-MS)
Thursday, April 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment