Anjing betina itu diberi nama Faith. Dia lahir dengan cacat yang cukup serius dan dokter hewan pun tak dapat berbuat apa- apa selain memberi semangat dan membantu perkembangan Faith. Anjing campuran Chow Chow- Labrador ini lahir dengan hanya memiliki dua kaki belakang. Keluarga Stringfellow memungut Faith setelah seseorang mencampakannya. Dengan tekun. Jade Stringfellow merawat Faith dengan kasih sayang karena ia iangin membuktikan bahwa Faith pantas untuk Hidup.
Banyak orang yang menyarankan agar Jade membiarkan saja Faith terbaring karena ia tidak mungkin bisa berjalan hanya dengan sepasang kaki belakang saja. Tetapi setiap kali Jade memandang Faith, mata Faith seolah berkata agar Jade menolongnya. Dan Jade bertekad untuk menolong Faith, ia mau membuktikan bahwa Faith bisa beraktivitas seperti anjing normal lainnya. Faith pun tumbuh, dan dengan bantuan Jade ia belajar dengan berbagai cara untuk bisa berjalan dengan sepasang kaki belakangnya. Ketika berusia 3 bulan, Faith baru bisa berjalan terseok- seok karena ia belum mampu mengangkat dadanya. Jade kuatir bahwa dadanya akan lecet karena gesekan dengan lantai. Mengajari Faith berjalan bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi untunglah nafsu makannya besar sehingga ia kuat secara fisik. Karena Faith sangat suka selai kacang dan dia akan berusaha dengan cara apa saja untuk mendapatkannya, maka Jade memanfaatkan hal ini untuk mengajari Faith berdiri. Jadilah selai kacang sebagai umpan atau penyemangat bagi Fith untuk berdiri dan berjalan. Jade melatih Faith selama 8 bulan dan hasilnya sangat mengagumkan.
Faith kini bisa berjalan dan berdiri dengan sepasang kaki seperti manusia. Ia tumbuh sehat dan kuat, selalu menggoyangkan ekornya tanda bahagia dan ia menjadi sangat terkenal di seluruh Amerika. Faith dibawa tour keliling Amerika bahkan sipenyayang anjing Oprah Winfrey memastikan bahwa Faith akan masuk dalam Oprah Winfrey Show.
Kisah ini membuka mata kita untuk belajar bahwa sesuatu yang sering kita anggap sebagai penghalang baik itu berupa cacat atau kelemahan fisik, latar belakang pendidikan yang tidak memadai, keadaan sosial ekonomi keluarga, dll, ternyata bukanlah alasan untuk hidup di dalam keterpurukan. (diambil dari berbagai sumber-MS)
Thursday, April 10, 2008
Tolong Kembalikan Tangan Ita
Gadis kecil berusia empat tahun itu sedang asyik mencoret- coret tanah di pekarangan rumahnya, sementara pembantu yang menjaganya sedang menjemur pakaian. Beberapa waktu kemudian, Ita si gadis kecil ini menemukan paku berkarat dan memakainya untuk menggambar. Kemudian Ita berjalan ke garasi dan mulai menggoreskan paku itu di sedan hitam yang baru dibeli papanya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan sedan itu.
Sore harinya, ketika mama dan papanya pulang, dengan bangga Ita menarik tangan papanya untuk memperlihatkan hasil karyanya di garasi itu dengan cepat memompa emosi papanya dan karena lepas kendali papanya memukuli tangan Ita dengan mistar. “Ampun Pa…ampun Pa…,“ itulah jeritan yang keluar dari mulut Ita tapi jeritan itu tidak dihiraukan oleh papanya. Setelah merasa puas papanya berhenti dan menyuruh pembantu untuk mengurusi Ita yang baru saja didisiplin tanpa pembelaan sang mama.
Tangis yang panjang melelahkan Ita dan ia pun tertidur. Ketika pembantu memandikannya, dari awal sampai selesai mandi Ita menangis karena rasa perih di kedua tangannya. Ketika si pembantu memberitahukan majikannya, mereka hanya menyuruhnya untuk mengoleskan salep. Keesokan harinya mereka bekerja seperti biasanya, sementara tangan Ita mulai membengkak. Saat si pembantu menelepon nyonyanya, ia kembali diperintahkan untuk mengoleskan salep dan memberi obat demam. Hari berganti dan suhu badan itu mulai naik, namun kedua orang tuanya tidak serius mengobati tangan Ita sampai suatu hari suhu tubuh Ita sangat tinggi. Dengan panik mereka pun membawa Ita ke rumah sakit. Diagnosa dokter, Ita demam diakibatkan oleh luka- luka di tangannya. Setelah diopname selama satu minggu, akhirnya dengan berat hati dokter memberitahukan kondisi Ita. “Tangannya yang bernanah telah membusuk. Untuk menyelamatkan Ita maka kami harus mengamputasi tangannya.“ Dengan derai air mata dan penyesalan yang tak habisnya, Papa dan Mama Ita menandatangani surat persetujuan. Singkat cerita, Ita dioperasi dan setelah siuman dengan menahan rasa sakit di tangannya ia berkata, “Pa, Ita nggak akan nakal lagi. Ita sayang sama Papa, sama Mama, tapi Pa, tolong kembalikan tangan Ita. Kalau nggak pinjam aja Pa, Ita janji nggak akan mengulanginya, Ita nggak akan nakal lagi. Ayo Pa, kembalikan tangan Ita….“ Semua orang yang ada di ruangan itu membisu, hanya isak tangis dan derai air mata yang berbicara mewakili kesedihan dan penyesalan mereka.
Efek yang ditimbulkan oleh amarah dan kehilangan kendali adalah rasa sakit dan rasa bersalah. Dalam sebuah keluarga, kesalahan seorang anak berpotensi meningkatkan emosi orang tua, namun seharusnya orang tua mempersiapkan diri dengan penguasaan diri yang tinggi sehingga dapat mendidik anaknya tanpa meninggalkan luka-luka batin pada anaknya.(diambil dari berbagai sumber-MS)
Sore harinya, ketika mama dan papanya pulang, dengan bangga Ita menarik tangan papanya untuk memperlihatkan hasil karyanya di garasi itu dengan cepat memompa emosi papanya dan karena lepas kendali papanya memukuli tangan Ita dengan mistar. “Ampun Pa…ampun Pa…,“ itulah jeritan yang keluar dari mulut Ita tapi jeritan itu tidak dihiraukan oleh papanya. Setelah merasa puas papanya berhenti dan menyuruh pembantu untuk mengurusi Ita yang baru saja didisiplin tanpa pembelaan sang mama.
Tangis yang panjang melelahkan Ita dan ia pun tertidur. Ketika pembantu memandikannya, dari awal sampai selesai mandi Ita menangis karena rasa perih di kedua tangannya. Ketika si pembantu memberitahukan majikannya, mereka hanya menyuruhnya untuk mengoleskan salep. Keesokan harinya mereka bekerja seperti biasanya, sementara tangan Ita mulai membengkak. Saat si pembantu menelepon nyonyanya, ia kembali diperintahkan untuk mengoleskan salep dan memberi obat demam. Hari berganti dan suhu badan itu mulai naik, namun kedua orang tuanya tidak serius mengobati tangan Ita sampai suatu hari suhu tubuh Ita sangat tinggi. Dengan panik mereka pun membawa Ita ke rumah sakit. Diagnosa dokter, Ita demam diakibatkan oleh luka- luka di tangannya. Setelah diopname selama satu minggu, akhirnya dengan berat hati dokter memberitahukan kondisi Ita. “Tangannya yang bernanah telah membusuk. Untuk menyelamatkan Ita maka kami harus mengamputasi tangannya.“ Dengan derai air mata dan penyesalan yang tak habisnya, Papa dan Mama Ita menandatangani surat persetujuan. Singkat cerita, Ita dioperasi dan setelah siuman dengan menahan rasa sakit di tangannya ia berkata, “Pa, Ita nggak akan nakal lagi. Ita sayang sama Papa, sama Mama, tapi Pa, tolong kembalikan tangan Ita. Kalau nggak pinjam aja Pa, Ita janji nggak akan mengulanginya, Ita nggak akan nakal lagi. Ayo Pa, kembalikan tangan Ita….“ Semua orang yang ada di ruangan itu membisu, hanya isak tangis dan derai air mata yang berbicara mewakili kesedihan dan penyesalan mereka.
Efek yang ditimbulkan oleh amarah dan kehilangan kendali adalah rasa sakit dan rasa bersalah. Dalam sebuah keluarga, kesalahan seorang anak berpotensi meningkatkan emosi orang tua, namun seharusnya orang tua mempersiapkan diri dengan penguasaan diri yang tinggi sehingga dapat mendidik anaknya tanpa meninggalkan luka-luka batin pada anaknya.(diambil dari berbagai sumber-MS)
Cepat Marah??…Eit, Tunggu Dulu…
Setelah lelah berperang, Jengis Khan, Raja Mongol yang termasyur itu memutuskan untuk berburu ke hutan bersama pejabat kerajaannya. Dengan membawa busur, panah, dan menunggangi kuda mereka memasuki hutan belantara. Di belakang mereka berbaris para pengawal yang membawa kawanan anjing pemburu. Rajawali milik raja yang sudah terlatih berburu pun ikut serta. Rajawali itu sangat membantu, jika raja memerintahkannya untuk terbang maka ia akan terbang ke udara, berkeliling mencari mangsa dan membawanya kepada raja. Rajawali itu juga berguna untuk menuntun raja pulang ke istana.
Mereka cukup lama menjelajahi hutan namun tidak menemukan hasil buruan yang banyak. Di tengah perjalanan bersama rajawali, raja sengaja memisahkan diri dan mengambil jalan menuju lembah yang terletak di antara dua gunung. Hari yang terik membuat raja kehausan dan ia memerintahkan rajawali untuk mencari jalan pintas menuju istana. Di perjalanan, raja menemukan tetesan air bening di bebatuan. Raja segera turun dari kudanya dan mengeluarkan cawan peraknya. Raja menampung tetesan demi tetesan dan tatkala ia hendak meneguk air yang menyegarkan itu, tiba-tiba terdengar suara menderu di udara. Seketika rajawali menukik dan memukul tangan rajasehingga air dalam cawan itu pun tumpah. Kemudian rajawali itu terbang kian kemari dan bertengger di bebatuan.
Raja mengambil cawannya dan kembali menampung air. Ketika ia akan meminumnya si rajawali kembali menumpahkannya. Melihat itu raja murka, sambil mengisi cawan ia menghunus pedangnya dan berkata, “Rajawali, ini peringatan terakhir untukmu!” Sesaat kemudian raja kembali ingin minum air yang sudah ditampungnya dan si rajawali melakukan hal yang sama. Dengan sekuat tenaga raja menebas tubuh rajawali dan seketika rajawali itu tergeletak mati di kakinya. Raja tidak memperdulikannya, ia mencari cawannya yang ternyata terjepit di antara dua batu yang tak terjangkau. Rasa haus kemudian membuat raja mendaki bebatuan yang terjal. Setelah bersusah payah akhirnya sampailah ia di telaga kecil, sumber tetesan air itu. Dahaga raja seolah sirna tatkala melihat seekor ular paling berbisa mati ternganga di dalam telaga. Hati raja sesak mengingat kematian rajawali yang berusaha keras menyelamatkannya. Raja menuruni bukit dan menggendong rajawali menuju istana, hati kecilnya menjerit, “Hari ini aku mendapat pelajaran yang menyedihkan, aku tidak akan melakukan sesuatu apa pun jika sedang marah!” (diambil dari berbagai sumber-MS)
Mereka cukup lama menjelajahi hutan namun tidak menemukan hasil buruan yang banyak. Di tengah perjalanan bersama rajawali, raja sengaja memisahkan diri dan mengambil jalan menuju lembah yang terletak di antara dua gunung. Hari yang terik membuat raja kehausan dan ia memerintahkan rajawali untuk mencari jalan pintas menuju istana. Di perjalanan, raja menemukan tetesan air bening di bebatuan. Raja segera turun dari kudanya dan mengeluarkan cawan peraknya. Raja menampung tetesan demi tetesan dan tatkala ia hendak meneguk air yang menyegarkan itu, tiba-tiba terdengar suara menderu di udara. Seketika rajawali menukik dan memukul tangan rajasehingga air dalam cawan itu pun tumpah. Kemudian rajawali itu terbang kian kemari dan bertengger di bebatuan.
Raja mengambil cawannya dan kembali menampung air. Ketika ia akan meminumnya si rajawali kembali menumpahkannya. Melihat itu raja murka, sambil mengisi cawan ia menghunus pedangnya dan berkata, “Rajawali, ini peringatan terakhir untukmu!” Sesaat kemudian raja kembali ingin minum air yang sudah ditampungnya dan si rajawali melakukan hal yang sama. Dengan sekuat tenaga raja menebas tubuh rajawali dan seketika rajawali itu tergeletak mati di kakinya. Raja tidak memperdulikannya, ia mencari cawannya yang ternyata terjepit di antara dua batu yang tak terjangkau. Rasa haus kemudian membuat raja mendaki bebatuan yang terjal. Setelah bersusah payah akhirnya sampailah ia di telaga kecil, sumber tetesan air itu. Dahaga raja seolah sirna tatkala melihat seekor ular paling berbisa mati ternganga di dalam telaga. Hati raja sesak mengingat kematian rajawali yang berusaha keras menyelamatkannya. Raja menuruni bukit dan menggendong rajawali menuju istana, hati kecilnya menjerit, “Hari ini aku mendapat pelajaran yang menyedihkan, aku tidak akan melakukan sesuatu apa pun jika sedang marah!” (diambil dari berbagai sumber-MS)
Wanita yang Mau Memaafkan
Di ruang pengadilan itu duduk seorang wanita berusia sekitar 70 tahun dan di wajahnya tergambar goresan penderitaan dan kesedihan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Sementara di kursi terdakwa duduk Van der Broek, pria berdarah dingin yang membunuh anak laki- laki dan suaminya. Kekejaman pria itu kembali bermain di benaknya. Beberapa tahun yang lalu Van der Broek datang kerumahnya. Dengan paksa ia mengambil anak laki-lakinya, kemudian menembak dan membakarnya. Beberapa tahun kemudian Van der Broek kembali untuk menculik suaminya. Wanita itu hidup dalam ketidakpastian, apakah suaminya masih hidup atau sudah tewas terbunuh. Dua tahun kemudian penculik itu kembali dan mengajaknya ke tepi sebuah sungai. Di sana ia melihat suaminya diikat, disiksa dan berdiri di tumpukan kayu kering yang sudah disiram bensin. Api yang berkobar pun memisahkan mereka dengan diiringi tangis air mata yang seolah tak mau berhenti. Teriakan suaminya, “Bapa, ampunilah mereka,” masih terngiang di telinganya.
Akhirnya polisi berhasil menangkap Van der Broek. Di pengadilan ia terbukti bersalah dan harus menerima hukuman sesuai dengan keputusan hakim. Sebelum memutuskan hukumannya, hakim bertanya, “Nyonya, menurut Anda apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang yang secara brutal telah menghabisi keluarga anda?“ Wanita Negro yang renta itu perlahan bangkit berdiri kemudian berkata, “Yang Mulia, saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dia dibawa ke pinggir sungai di mana suami saya terbunuh. Saya akan mengumpulkan debunya dan menguburkannya secara terhormat. Yang kedua, Van der Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto ( perumahan orang Negro ) dan melewatkan waktu sehari bersama saya sehingga saya dapat mencurahkan kasih sayang saya kepadanya. Dan yang ketiga, saya ingin Van der Broek tahu bahwa saya telah mengampuninya, dan alasan lainnya karena permintaan terakhir suami saya. Yang Mulia, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya maju ke depan untuk memeluk Van der Broek sebagai bukti bahwa saya benar-benar telah mengampuninya?“ Hakim tak tahu harus berkata apa selain menganggukkan kepalanya tanpa setuju. Kemudian seorang petugas menuntun wanita itu berjalan ke hadapan Van der Broek. Semua orang dalam ruangan itu terharu, termasuk Van der Broek yang jatuh pingsan saat akan dipeluk wanita berhati emas itu. (diambil dari berbagai sumber-MS)
Akhirnya polisi berhasil menangkap Van der Broek. Di pengadilan ia terbukti bersalah dan harus menerima hukuman sesuai dengan keputusan hakim. Sebelum memutuskan hukumannya, hakim bertanya, “Nyonya, menurut Anda apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang yang secara brutal telah menghabisi keluarga anda?“ Wanita Negro yang renta itu perlahan bangkit berdiri kemudian berkata, “Yang Mulia, saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dia dibawa ke pinggir sungai di mana suami saya terbunuh. Saya akan mengumpulkan debunya dan menguburkannya secara terhormat. Yang kedua, Van der Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto ( perumahan orang Negro ) dan melewatkan waktu sehari bersama saya sehingga saya dapat mencurahkan kasih sayang saya kepadanya. Dan yang ketiga, saya ingin Van der Broek tahu bahwa saya telah mengampuninya, dan alasan lainnya karena permintaan terakhir suami saya. Yang Mulia, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya maju ke depan untuk memeluk Van der Broek sebagai bukti bahwa saya benar-benar telah mengampuninya?“ Hakim tak tahu harus berkata apa selain menganggukkan kepalanya tanpa setuju. Kemudian seorang petugas menuntun wanita itu berjalan ke hadapan Van der Broek. Semua orang dalam ruangan itu terharu, termasuk Van der Broek yang jatuh pingsan saat akan dipeluk wanita berhati emas itu. (diambil dari berbagai sumber-MS)
Tegar Menghadapi Badai Kehidupan
Ada sebuah pohon yang terkenal di California Selatan. Pohon itu selalu dikunjungi oleh para wisatawan dari dalam dan luar negeri. Sebenarnya bentuk pohon itu tidak istimewa dan tidak enak dilihat. Tingginya hanya sekitar dua meter dengan batang yang sedikit pipih dan melintir. Daun-daunnya hanya terdapat di sebagian cabang-cabangnya, sedangkan sebagian cabang yang lain gundul tak berdaun.
Yang membuat pohon itu terkenal, karena ia tumbuh di atas batu granit yang sangat keras. Pohon tersebut tumbuh pada ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut, menghadap langsung ke Samudera Pasifik yang anginnya keras. Tak ada pohon lain yang tumbuh selain pohon tersebut. Pohon itu berasal dari sebutir biji pohon yang terbawa angin beberapa tahun yang lalu, kemudian jatuh di celah batu granit yang ada tanahnya. Benih itu tumbuh dan batangnya muncul, tetapi terpaan angin Pasifik menghancurkannya. Kadang- kadang pohon itu bisa tumbuh agak besar, tetapi angin kencang Pasifik akan kembali memporak-porandakannya. Bagian batangnya memang tidak bisa bebas dari terpaan angin, sehingga model batang pohon itu menjadi tidak karuan karena angin yang menderanya, namun akarnya terus menancap ke bawah mencari jalan di sela-sela batu granit yang keras. Akarnya terus mengisap mineral-mineral yang ada di sekitarnya. Sementara itu walau penuh perjuangan karena harus diterpa angin berkali-kali, batangnya tumbuh terus sehingga lama-kelamaan ia semakin kokoh karena sudah terlatih. Orang Amerika menganggap pohon tersebut sebagai simbol ketegaran di dalam menghadapi badai kehidupan.
Ada beberapa alasan mengapa orang percaya harus tegar di dalam menghadapi badai kehidupan yang berupa masalah- masalah yang datang di dalam kehidupannya.
Pertama, masalah adalah hal yang wajar bagi orang yang hidup. Selama masih hidup di dunia ini, masalah akan tetap ada. Jika kita menyerah, maka kita akan kalah. Tetapi jika kita tegar dan berusaha mengatasinya, maka kita akan menang.
Kedua, Tuhan menjanjikan jalan keluar dari setiap masalah yang kita alami. Masalah yang kita hadapi tidak akan melebihi kekuatan kita. Hadapilah masalah dan tetaplah tegar, karena Tuhan selalu siap menolong dan memberikan jalan keluar.
Ketiga, masalah akan mendewasakan kita. Seperti pohon di atas, ia menjadi semakin kokoh karena sudah terlatih. Kesenangan hidup tidak akan mendewasakan, malah bisa menjatuhkan. Tetapi masalah akan membuat kita semakin dewasa di dalam iman.(diambil dari berbagai sumber-MS)
Yang membuat pohon itu terkenal, karena ia tumbuh di atas batu granit yang sangat keras. Pohon tersebut tumbuh pada ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut, menghadap langsung ke Samudera Pasifik yang anginnya keras. Tak ada pohon lain yang tumbuh selain pohon tersebut. Pohon itu berasal dari sebutir biji pohon yang terbawa angin beberapa tahun yang lalu, kemudian jatuh di celah batu granit yang ada tanahnya. Benih itu tumbuh dan batangnya muncul, tetapi terpaan angin Pasifik menghancurkannya. Kadang- kadang pohon itu bisa tumbuh agak besar, tetapi angin kencang Pasifik akan kembali memporak-porandakannya. Bagian batangnya memang tidak bisa bebas dari terpaan angin, sehingga model batang pohon itu menjadi tidak karuan karena angin yang menderanya, namun akarnya terus menancap ke bawah mencari jalan di sela-sela batu granit yang keras. Akarnya terus mengisap mineral-mineral yang ada di sekitarnya. Sementara itu walau penuh perjuangan karena harus diterpa angin berkali-kali, batangnya tumbuh terus sehingga lama-kelamaan ia semakin kokoh karena sudah terlatih. Orang Amerika menganggap pohon tersebut sebagai simbol ketegaran di dalam menghadapi badai kehidupan.
Ada beberapa alasan mengapa orang percaya harus tegar di dalam menghadapi badai kehidupan yang berupa masalah- masalah yang datang di dalam kehidupannya.
Pertama, masalah adalah hal yang wajar bagi orang yang hidup. Selama masih hidup di dunia ini, masalah akan tetap ada. Jika kita menyerah, maka kita akan kalah. Tetapi jika kita tegar dan berusaha mengatasinya, maka kita akan menang.
Kedua, Tuhan menjanjikan jalan keluar dari setiap masalah yang kita alami. Masalah yang kita hadapi tidak akan melebihi kekuatan kita. Hadapilah masalah dan tetaplah tegar, karena Tuhan selalu siap menolong dan memberikan jalan keluar.
Ketiga, masalah akan mendewasakan kita. Seperti pohon di atas, ia menjadi semakin kokoh karena sudah terlatih. Kesenangan hidup tidak akan mendewasakan, malah bisa menjatuhkan. Tetapi masalah akan membuat kita semakin dewasa di dalam iman.(diambil dari berbagai sumber-MS)
Integritas menghasilkan kepercayaan
Menjelang panen seorang pria menyewa tiga orang pemuda yang akan membantunya untuk mengumpulkan hasil ladangnya. Ketiga pemuda itu mengerjakan tugas- tugas mereka dengan baik dan setelah semuanya selesai mereka dipanggil untuk diberikan upah seperti yang telah dijanjikan. “Berapa yang harus saya bayar kepadamu John?“ tanyanya kepada pemuda yang pertama. “55 dolar Tuan,“ jawabnya dan pria itu menulis cek senilai 55 dolar untuknya. “Terima kasih atas jerih payahmu, John,“ katanya dengan hormat. “Berapa yang harus saya bayar kepadamu Michael?“ katanya kepada pemuda yang kedua. “Anda harus membayar 75 dolar Tuan,“ kata Michael. “Bagaimana caramu menghitung sampai jumlahnya setinggi itu ?“ “Begini Tuan, saya menghitung biaya sejak saya masuk ke dalam mobil untuk berangkat dan tiba di sini, ditambah dengan uang bensin dan makan.“ jawabnya. “Uang makan? Kan makanan sudah disediakan?“ tanya pria itu keheranan “Yap,“ jawabnya singkat. “O…begitu, kata pria itu sambil menuliskan cek senilai 75 dolar.
“Dan kau Nathan?“ lanjut pemilik ladang itu. “38 dolar 50 sen, Tuan,“ kata Nathan. Pria itu terdiam sejenak dan kemudian minta penjelasan. “Bagaimana kau bisa menghitung sampai jumlahnya bisa lebih rendah?“ “Saya tidak minta upah untuk waktu istirahat siang karena istri Tuan telah memasak dan menyiapkan makan siang. Saya tidak minta ongkos karena saya datang dengan menumpang mobil teman. Jadi upah saya cukup 38 dolar 50 sen,“ jawab Nathan. Pria itu pun menuliskan cek sebesar 100 dolar, memberikannya kepada Nathan kemudian menutup buku ceknya. Ia memandangi ketiga pemuda yang terdiam oleh perbuatannya. “Saya selalu membayar orang sesuai dengan nilainya. Di tempat asal saya, kami menyebutnya imbalan yang setimpal. Tinggi rendahnya nilai seseorang tercipta dari sikap orang itu sendiri,“ katanya menjelaskan besarnya pengaruh sikap hati di dalam pencapaian sesuatu.(diambil dari berbagai sumber-MS)
“Dan kau Nathan?“ lanjut pemilik ladang itu. “38 dolar 50 sen, Tuan,“ kata Nathan. Pria itu terdiam sejenak dan kemudian minta penjelasan. “Bagaimana kau bisa menghitung sampai jumlahnya bisa lebih rendah?“ “Saya tidak minta upah untuk waktu istirahat siang karena istri Tuan telah memasak dan menyiapkan makan siang. Saya tidak minta ongkos karena saya datang dengan menumpang mobil teman. Jadi upah saya cukup 38 dolar 50 sen,“ jawab Nathan. Pria itu pun menuliskan cek sebesar 100 dolar, memberikannya kepada Nathan kemudian menutup buku ceknya. Ia memandangi ketiga pemuda yang terdiam oleh perbuatannya. “Saya selalu membayar orang sesuai dengan nilainya. Di tempat asal saya, kami menyebutnya imbalan yang setimpal. Tinggi rendahnya nilai seseorang tercipta dari sikap orang itu sendiri,“ katanya menjelaskan besarnya pengaruh sikap hati di dalam pencapaian sesuatu.(diambil dari berbagai sumber-MS)
Hadiah Sepanjang Masa
Ketika Bill Havens sedang giat- giatnya berlatih mempersiapkan diri untuk memperebutkan piala dunia di cabang olah raga dayung, ia menerima telegram yang mengabarkan bahwa isterinya akan melahirkan dua atau tiga hari lagi. Setelah mempertimbangkan masak- masak, akhirnya Bill memutuskan untuk keluar dari area karantina guna mendampingi isterinya dan menanti kelahiran anak yang sangat didambakannya. Bill pulang karena baginya keluarga lebih utama dari pada karir. Setelah anaknya tumbuh dewasa, Bill kembali mendapatkan sebuah telegram. “Ayah, terima kasih karena telah menunggu kelahiranku. Aku akan pulang dengan membawa medali emas yang seharusnya ayah menangkan dulu… Anakmu, Frank.“ Frank berhasil meraih medali emas pada Olimpiade di Helsinki, Finlandia, 1952.
Patrick M Morley pernah berkata, “Saya lebih memilih untuk tidak menjadi siapa- siapa asalkan bisa menjadi seseorang yang berarti bagi anak- anak saya.“ Artinya di tengah- tengah kesibukan dan pengejaran sukses, seorang ayah harus meluangkan waktu untuk mengenal dan dikenal anak- anaknya. Dewasa ini ada banyak anak yang tidak mengenal ayahnya, mungkin juga tidak menyimpan kenangan indah pada masa kecilnya yang tidak diwarnai oleh canda, kehangatan atau pendisiplinan dari ayah mereka, karena sang ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan pelayanan. Tanggung jawab ayah bukan sekedar memenuhi kebutuhan materi keluarganya, tetapi juga memberikan kehangatan bagi anak- anaknya.
Ada lima langkah yang harus dilakukan seorang pria agar menjadi ayah yang maksimal.
Pertama, luangkan waktu bersama anak- anak. Setelah seharian lelah bekerja di kantor, Anda akan merasa rileks kembali jika satu jam saja bersedia bermain atau berbagi cerita bersama anak- anak Anda, Anak- anak pasti senang jika Anda merencanakan apa yang akan dilakukan bersama di akhir pekan atau liburan. Kehadiran ayah merupakan hadiah bagi mereka.
Kedua, berikan teladan yang baik. Teladan adalah cara yang efektif untuk mendidik anak berlaku baik. Jika orang tuanya murah hati, anak- anaknya cenderung murah hati; jika orang tuanya lues dalam pergaulan, anak- anaknya mudah bersosialisasi, jika orang tuanya jujur dan pekerja keras, anak- anaknya akan terbentuk jujur dan suka bekerja.
Ketiga, motivasi mereka untuk memikirkan impian atau cita- cita. Impian atau cita- cita yang tercipta sejak dini sangat membantu anak- anak untuk mengasah minat dan bakat mereka, sehingga hidup mereka terarah untuk mewujudkan impian itu.
Keempat, tegakkan disiplin. Anak- anak yang melakukan kesalahan harus diberi tahu bahwa mereka salah dan harus didisiplin.
Kelima, ajari mereka tentang kebenaran. Jika sejak dini benih kebenaran ditabur dalam hidup anak- anak, maka kebenaran itu akan menjadi pelita bagi jalan hidup mereka!(diambil dari berbagai sumber-MS)
Patrick M Morley pernah berkata, “Saya lebih memilih untuk tidak menjadi siapa- siapa asalkan bisa menjadi seseorang yang berarti bagi anak- anak saya.“ Artinya di tengah- tengah kesibukan dan pengejaran sukses, seorang ayah harus meluangkan waktu untuk mengenal dan dikenal anak- anaknya. Dewasa ini ada banyak anak yang tidak mengenal ayahnya, mungkin juga tidak menyimpan kenangan indah pada masa kecilnya yang tidak diwarnai oleh canda, kehangatan atau pendisiplinan dari ayah mereka, karena sang ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan pelayanan. Tanggung jawab ayah bukan sekedar memenuhi kebutuhan materi keluarganya, tetapi juga memberikan kehangatan bagi anak- anaknya.
Ada lima langkah yang harus dilakukan seorang pria agar menjadi ayah yang maksimal.
Pertama, luangkan waktu bersama anak- anak. Setelah seharian lelah bekerja di kantor, Anda akan merasa rileks kembali jika satu jam saja bersedia bermain atau berbagi cerita bersama anak- anak Anda, Anak- anak pasti senang jika Anda merencanakan apa yang akan dilakukan bersama di akhir pekan atau liburan. Kehadiran ayah merupakan hadiah bagi mereka.
Kedua, berikan teladan yang baik. Teladan adalah cara yang efektif untuk mendidik anak berlaku baik. Jika orang tuanya murah hati, anak- anaknya cenderung murah hati; jika orang tuanya lues dalam pergaulan, anak- anaknya mudah bersosialisasi, jika orang tuanya jujur dan pekerja keras, anak- anaknya akan terbentuk jujur dan suka bekerja.
Ketiga, motivasi mereka untuk memikirkan impian atau cita- cita. Impian atau cita- cita yang tercipta sejak dini sangat membantu anak- anak untuk mengasah minat dan bakat mereka, sehingga hidup mereka terarah untuk mewujudkan impian itu.
Keempat, tegakkan disiplin. Anak- anak yang melakukan kesalahan harus diberi tahu bahwa mereka salah dan harus didisiplin.
Kelima, ajari mereka tentang kebenaran. Jika sejak dini benih kebenaran ditabur dalam hidup anak- anak, maka kebenaran itu akan menjadi pelita bagi jalan hidup mereka!(diambil dari berbagai sumber-MS)
Pohon yang Kehilangan Rohnya
Kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satu kebiasaan yang ditemui
pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon di Pasifik
Selatan.
Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang
menarik yakni meneriaki pohon.
Untuk apa ?
Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Inilah yang mereka lakukan, jadi tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari.
Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering.Setelah itu dahan-dahannya juga mulai akan rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan dengan demikian, mudahlah ditumbangkan.
Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati.
Nah, sekarang, apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini ? O, sangat berharga sekali ! Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya. Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda, ‘Ayo cepat ! Dasar lelet, Bego banget sih’. Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan’.
‘Ayo, jangan main-main disini. Berisik ! Bising !’
Atau, pernahkah Anda berteriak kepada orang tua Anda karena merasa mereka membuat Anda jengkel ? ‘Kenapa sih makan aja berceceran ?’
‘Kenapa sih sakit sedikit aja mengeluh begitu”Kenapa sih jarak dekat aja minta diantar ?’ ‘Mama, tolong nggak usah cerewet, boleh nggak?’ Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati, ‘Cuih ! Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu tahu nggak !’,'Iii ! Bodoh banget jadi laki nggak bisa apa-apa !, ‘Aduh. Perempuan kampungan banget sih !’
Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya, ‘E tolol. Soal mudah begitu aja nggak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter ?
Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesel, ‘E tahu ngak? Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku kagak bakal nyesel. Ada banyak yang bisa gantiin kamu’, ‘Sial ! Kerja gini nggak becus ? Ngapain gue gaji elu ?
Ingatlah ! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai. Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi2 kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.
Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan.
Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari.Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan ?
Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter. Mudah menjelaskannya.
Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begituuuu jauhnya.Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak !
Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan ‘roh’ pada orang yang dimarahi kerena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.
Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera membunuh roh pada orang lain ataupun roh pada hubungan Anda, selalulah berteriak. Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Atau Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya. Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai, tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.
pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon di Pasifik
Selatan.
Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang
menarik yakni meneriaki pohon.
Untuk apa ?
Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Inilah yang mereka lakukan, jadi tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari.
Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering.Setelah itu dahan-dahannya juga mulai akan rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan dengan demikian, mudahlah ditumbangkan.
Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati.
Nah, sekarang, apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini ? O, sangat berharga sekali ! Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya. Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda, ‘Ayo cepat ! Dasar lelet, Bego banget sih’. Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan’.
‘Ayo, jangan main-main disini. Berisik ! Bising !’
Atau, pernahkah Anda berteriak kepada orang tua Anda karena merasa mereka membuat Anda jengkel ? ‘Kenapa sih makan aja berceceran ?’
‘Kenapa sih sakit sedikit aja mengeluh begitu”Kenapa sih jarak dekat aja minta diantar ?’ ‘Mama, tolong nggak usah cerewet, boleh nggak?’ Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati, ‘Cuih ! Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu tahu nggak !’,'Iii ! Bodoh banget jadi laki nggak bisa apa-apa !, ‘Aduh. Perempuan kampungan banget sih !’
Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya, ‘E tolol. Soal mudah begitu aja nggak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter ?
Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesel, ‘E tahu ngak? Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku kagak bakal nyesel. Ada banyak yang bisa gantiin kamu’, ‘Sial ! Kerja gini nggak becus ? Ngapain gue gaji elu ?
Ingatlah ! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai. Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi2 kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.
Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan.
Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari.Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan ?
Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter. Mudah menjelaskannya.
Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begituuuu jauhnya.Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak !
Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan ‘roh’ pada orang yang dimarahi kerena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.
Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera membunuh roh pada orang lain ataupun roh pada hubungan Anda, selalulah berteriak. Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Atau Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya. Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai, tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.
Bung Hatta Dan Kisah Sepatu Bally
PADA tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek
sepatu yang bermutu tinggi dan tentu tidak murah.
Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada
sepatu Bally. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan
yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha
menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah
mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan
rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai
taulan yang datang kepadanya untuk meminta
pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally
idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena
tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan
iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih
tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari
seorang Hatta. Jika ingin memanfaatkan posisinya
waktu itu, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung
Hatta untuk memperoleh sepatu Bally.
Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau
pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
“Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta.
Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan
sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan
sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih
mendahulukan orang lain daripada kepentingannya
sendiri,” kata Adi Sasono, Ketua Pelaksana
Peringatan Satu Abad Bung Hatta. Pendeknya, itulah
keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah
carut-marut zaman ini, dengan dana bantuan presiden,
dana Badan Urusan Logistik, dan lain-lain.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap
mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari
meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi
pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus
berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung
pada orang lain. Seandainya bangsa Indonesia dapat
meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan
ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak
mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini
menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista
karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari
orang asing.
sepatu yang bermutu tinggi dan tentu tidak murah.
Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada
sepatu Bally. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan
yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha
menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah
mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan
rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai
taulan yang datang kepadanya untuk meminta
pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally
idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena
tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan
iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih
tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari
seorang Hatta. Jika ingin memanfaatkan posisinya
waktu itu, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung
Hatta untuk memperoleh sepatu Bally.
Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau
pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
“Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta.
Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan
sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan
sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih
mendahulukan orang lain daripada kepentingannya
sendiri,” kata Adi Sasono, Ketua Pelaksana
Peringatan Satu Abad Bung Hatta. Pendeknya, itulah
keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah
carut-marut zaman ini, dengan dana bantuan presiden,
dana Badan Urusan Logistik, dan lain-lain.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap
mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari
meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi
pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus
berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung
pada orang lain. Seandainya bangsa Indonesia dapat
meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan
ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak
mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini
menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista
karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari
orang asing.
Doa Anak Peserta Lomba Balap Mobil Mainan
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil
balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak
final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil
mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab memang begitulah
peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk
dalam 4 anak yang masuk final.
Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna.
Beberapa anak menyangsikan kekuatan
mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu
tak begitu menarik.
Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak
sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun,
Mark bangga
dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan.
Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka
kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4
pembalap”
kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di
antaranya. Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum
lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa.
Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu,
semenit kemudian, ia berkata,
“Ya, aku siap!” Dor!!! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat.
Semua mobil tu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai,
bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
“Ayo..ayo… cepat..cepat, maju..maju”, begitu teriak mereka.
Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah
terlambai.
Dan… Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia
berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih.”
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum
piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti
tadi berdoa kepada
Tuhan agar kamu menang, bukan?”
Mark terdiam. “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan,” kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan
untuk menolongku mengalahkan orang
lain, aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku
kalah.”
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah
gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita
semua.
Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian.
Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang
ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua
harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya.
Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat
menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau
menyadari kekurangan dengan rasa bangga. Mungkin, telah banyak waktu
yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap
permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan
kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap
ujian.
Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan
dan cobaan yang ada didepan mata.
Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya,
dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita
kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini.
Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui?
Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat
kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.
balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak
final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil
mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab memang begitulah
peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk
dalam 4 anak yang masuk final.
Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna.
Beberapa anak menyangsikan kekuatan
mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu
tak begitu menarik.
Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak
sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun,
Mark bangga
dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan.
Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka
kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4
pembalap”
kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di
antaranya. Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum
lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa.
Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu,
semenit kemudian, ia berkata,
“Ya, aku siap!” Dor!!! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat.
Semua mobil tu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai,
bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
“Ayo..ayo… cepat..cepat, maju..maju”, begitu teriak mereka.
Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah
terlambai.
Dan… Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia
berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih.”
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum
piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti
tadi berdoa kepada
Tuhan agar kamu menang, bukan?”
Mark terdiam. “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan,” kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan
untuk menolongku mengalahkan orang
lain, aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku
kalah.”
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah
gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita
semua.
Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian.
Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang
ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua
harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya.
Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat
menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau
menyadari kekurangan dengan rasa bangga. Mungkin, telah banyak waktu
yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap
permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan
kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap
ujian.
Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan
dan cobaan yang ada didepan mata.
Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya,
dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita
kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini.
Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui?
Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat
kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.
Subscribe to:
Posts (Atom)